Selasa, 22 Januari 2013 0 droplet(s)

Too Little Too Late

Drrt drrt, handphone bututku bergetar. Membuatku sadar dari lamunan. Ternyata ada SMS dari sahabatku, Shilla.
Al, aku mau curhat T^T”
Sudah biasa dia seperti ini. Pasti gara-gara Faiz lagi. “Hmmh” desahku sedikit menahan kesal. Bagaimana tidak kesal kalau semua tentang Faiz dan segala ke”lebay”an-nya dilimpahkannya semua begitu saja kepadaku? Memangnya aku ini apa? Her private trash? Tempat sampah pribadinya?
Walaupun kami sudah bersahabat lebih dari dua tahun, aku merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal diantara kami. Aku sudah mulai muak dengan segala ocehannya tentang Faiz lah, Dio lah, apa lah. Seolah-olah ia dan orang-orang yang aku sebutkan tadi memiliki hubungan spesial. Padahal sebenarnya tidak. Dan ujung-ujungnya, PASTI, dia akan galau dan melimpahkan semua keluhannya padaku.
Rasanya ingin sekali aku memakinya, memrotesnya, menegurnya, tapi apa daya, apabila dia marah, dia seperti orang yang kebakaran jenggot. Dan apabila dia marah, dia jauh lebih menakutkan dari singa yang kelaparan.
Cukup sudah semua tentang Shilla. Semoga kali ini yang dia ceritakan, bukan tentang orang-orang yang kusebutkan tadi. “Ada apa Shilla-ku, sayangku, cintaku, bebiku? -3-“ dan aku pun memencet tombol “send”. Tidak lama kemudian ada pemberitahuan bahwa SMS tersebut sudah terkirim.
“Aaaa... Aku pgn beli 6jib Al! T^T tapi kagak punya duit L huhuhu :’(“
“6jib? Apaan? Ajib-ajib? 6jib itu apa sih shil?”
“6jib itu albumnya suju yg terbaru. Pgn beli. Tp gk pny duit L
Ini nih, salah satu hal yang juga tidak kusukai. Yap. Dia seorang ELF[1], penggemar berat Super Junior. Aku tidak menyalahkan kok kalau dia seorang ELF. Tapi, semenjak diia menjadi ELF, dia menjadi sering mengkhayal yang berlebihan, sering berbicara dan menulis dengan bahasa serta huruf asing (yang sepertinya itu Korea) yang seringnya tidak kuketahui maksudnya dan aku hanya mengiyakannya.
Selain itu, dia juga sering curhat tentang album Super Junior yang terbaru dan berniat membelinya. Yang aku syukuri adalah, dia tidak sampai mencuri barang orang dan menjualnya hanya untuk memenuhi hasratnya membeli album Super Junior. Alhamdulillah. Dan semoga jangan sampai!
“Oh -_- terus aku hrs gmn? Blg wow? Bantuin? Beliin? Atau apa?”
“Beneran mau beliin? xD Asiiikk!!”
“Eh eh.. nggak lah -__- aku kan jg lg bokek ._. Sori shil ._.v km download lagu sealbum aja. Kan isinya sama ._.”
“Yaahh L Iyadeh. Iyaa. Makasih sayangku udah dengerin curhatanku :*”
“Sama-sama :* muaahh”
Aku munafik ya? Mungkin, tapi maksudku bukan begitu. Aku sebenarnya tidak ingin membenci Shilla. Mungkin karena terlalu lama sering dengannya, aku jadi ingin memberontak dan pergi darinya. Aku bosan. Tapi, aku tetap tidak bisa pergi darinya. Yah, karena tidak ingin menyakitinya dan juga karena saking lamanya kami menjadi teman dekat. Jadinya, aku malah menjadi seperti ini.
“Maafkan aku Shilla” ucapku lirih sambil memencet tombol “send”.

           
Pukul tiga pagi, aku terpaksa beranjak dari mimpi indahku ke dunia nyata. Aku harus belajar untuk ulangan nanti. Hal ini sudah menjadi kebiasaanku semenjak SMP. Tidur awal, bangun tengah malam untuk belajar. Suatu rutinitas jika ada ulangan ataupun ujian. Aku tahu itu memang tidak baik. Tapi, apa boleh buat? Pelajaran-pelajaran itu hanya dapat menembus otakku jika tidak ada orang lain yang masih bangun di rumahku.
            Layaknya remaja normal, hal pertama yang kulakukan setelah membuka mata adalah….mengecek handphoneku. Ada SMS. Ternyata dari Gilang. Cowok yang telah membutakan mataku semenjak awal masuk SMA. Dia tidak begitu tampan. Tinggi juga tidak. Pintar? Emm, mungkin saja.
Dia merupakan cowok berkulit gelap, berwajah tirus dengan rambut lurus acak-acakan. Matanya lebar, hidungnya agak mancung, bibirnya tipis. Ukuran sepatunya 40, tingginya hanya 163 cm, berat badannya kurang lebih 48 kg. Dia pakai kacamata kalau pelajaran, tetapi dilepas waktu keluar. Hei! Kenapa aku terus mikirin dia? Teriakku dalam hati.
Kembali ke SMS nya Gilang. Isi SMS nya adalah “Hei Alika.. bsk jadwal les nya apa?”. Wah, kenapa dia tanya aku? Bukannya teman sekelasnya yang ikut les juga banyak? Aku mulai menerka-nerka. Aku mulai melambung. Sepertinya aku butuh pegangan agar tidak melambung terlalu tinggi.
            “Jadwal les hari Kamis : 28, 44” dan pesan pun terkirim.
            Aku sengaja tidak tanya mengenai alasannya. Mungkin sebelumnya dia sudah tanya teman-temannya, tapi mereka tidak tahu. Dan akhirnya dia tanya aku deh. Tapi, alasan sebenarnya adalah aku takut jatuh. Aku sudah terlanjur melambung.
            Aku memilih mengalihkan perhatian ke buku LKS ekonomiku. Aku mencoba berkonsentrasi, membacanya berulang-ulang, mencoba membuat rangkuman, tapi tidak ada satu pun materi yang masuk ke otakku.
Aku memikirkan hal lain. SMS Gilang? Bukan. Lalu apa? Entahlah. Aku bingung. Aku hanya berharap semoga ulangan ekonomi nanti berjalan lancar walaupun materi yang kupelajari tidak ada satu pun yang nyantol di kepala.


            Aku baru saja akan beranjak ke kantin ketika mendengar ada suara Gilang di persimpangan.
“Oke. Makasih Shil” katanya.
            “Hah? Shil? Ashilla? Ashilla sahabatku itu? Nggak tahu lah. Mending aku langsung ke kantin aja. Perut udah meronta minta diisi nih” batinku dan langsung bergegas ke kantin.
            Di kantin ramai sekali. Aku melihat sekeliling mencari tempat duduk kosong. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Aku menoleh, ternyata Shilla.
            “Hai Al!” sapanya tanpa melupakan senyum andalannya.
            “Hai Shil!” balasku datar karena menahan rasa sakit.
            “Eh, Al. Itu ada meja kosong. Ke sana yuk! Kamu mau makan kan?” ajaknya sambil menunjuk meja di pojokan.
            “K..Ke.. Sana?” aku ragu.
            “Iya. Kenapa? Oh, aku tahu. Pasti gara-gara di deketnya ada…” godanya.
“Sssst! Diem! Nanti pada tahu!” aku melihat sekitar memastikan tidak ada yang memperhatikan percakapan kami.
Hahaha. Tapi, semua meja penuh Al. Ayolah!” bujuknya.
“Yaudah yuk!” Aku menyerah, tidak kuat menahan rasa melilit di perutku.
“Bu, soto dua mangkok, es jeruk satu, es teh satu. Yang es jeruk es nya dikit aja ya Bu” Shilla memesan setelah kami menempatkan diri di tempat duduk tadi.
“Eh, Shil. Tadi sebelum ke kantin, kamu ke mana sih?” aku bertanya setengah berbisik. Takut didengar Gilang dan teman-temannya.
“Aku? Ngobrol sama temen. Kenapa?” dia menjawab singkat.
“Ngobrol? Sama siapa?” aku menjadi was-was.
“Sama GNA” jawabnya. GNA adalah inisial buat Gilang.
Aku bersyukur, karena tepat setelah Shilla menjawab, Gilang dkk pergi.
“Jadi tadi beneran kamu yang ngomong sama dia?” aku mulai bicara biasa dan berusaha agar tidak terlihat emosi.
“Eh?? Kamu tadi denger apa aja Al?” jelas terlihat dia menyembunyikan sesuatu.
“Cuman pas Gilang bilang makasih. Emang kalian ngomongin apa sih?” tanyaku sok tertarik.
“Bukan apa-apa kok. Dia cuman nanya kita udah ulangan apa aja” ujarnya untuk menenangkan.
Tapi aku tidak bisa tenang! Aku mulai mendidih.
Untung, tidak lama, pesananan kami datang. Aku bisa mengalihkan perhatian. Tapi aku mendadak menjadi tidak nafsu makan. Aku hanya makan separuh. Perasaanku campur aduk. Antara kecewa, sedih, dan marah.


Semenjak kejadian di kantin itu, aku mulai menjaga jarak dengan Shilla. Shilla pun tidak berusaha untuk mendekatiku. Aku menjalani hari-hariku sendirian. Pergi ke perpustakaan saat istirahat pertama sampai masuk lagi, sholat berjamaah saat istirahat kedua, dan buru-buru pulang setelah bel pulang berbunyi. Aku pun jarang SMS baik dengan Gilang maupun Shilla. Setiap Shilla bertanya tentang pelajaran padaku, aku hanya menjawab seperlunya dan sedatar mungkin. Aku berhasil melakukan semua itu sampai hari ini.
Tanggal 29 September 2012. Hari ulang tahunku. Aku melakukan rutinitas itu. Semua berjalan seperti biasanya sampai bel pulang berbunyi. Pada saat perjalanan keluar dari sekolah, aku takut. Aku takut seperti tahun lalu. Sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi, dan aku tak perlu menjelaskannya.
Aku mulai berpikir bahwa jangan-jangan Shilla memang sengaja membuatku jauh darinya agar bisa mengerjaiku lebih parah dari tahun kemarin. Tapi aku tidak bodoh. Aku akan lewat pintu belakang. Dia tidak mungkin ada di belakang.
Tapi perkiraanku salah besar, sebelum aku sempat mengendap-endap ke belakang sekolah, tiba-tiba Shilla meloncat sambil mengguyurkan tepung setengah kiloan ke sekujur tubuhku. Dan orang-orang yang lain entah bagaimana ceritanya jadi ikut-ikutan mengguyurku dengan berbagai barang yang ada. Ada es teh, telur yang dibeli dari penjual jajanan, es jeruk, dan lain sebagainya. Jadinya, aku mendadak seperti beruang kutub yang entah dari mana asalnya, bisa nyasar ke sekolah ini.
Saengil chukhahaeyo[2] Alika-ah. Happy birthday! Semoga tambah yang baik-baik. I love you so much. Saranghaeyo[3]. Muah muah muah” ucap Shilla dengan puas, kuulangi sekali lagi, SANGAT PUAS!
Bagus! Rencananya berhasil! Tapi, aku masih berpikir apakah percakapannya dengan Gilang tempo hari juga termasuk rencananya atau memang ada sesuatu di antara mereka?
 “Ah iya. Nih, Al. Aku Cuma bisa ngasih ini” dia berkata sambil menyodorkan origami yang sudah sangat sering dia buat.
Sebuah burung yang apabila ditarik ekornya, sayapnya bisa bergerak seolah-olah burung tersebut bisa terbang.
“Maaf ya, nggak begitu bagus. Dan maaf juga kalau nggak beli” tambahnya.
“Ah, nggak kok. Bagus. Makasih banget ya Shil” aku berterima kasih dengan senyum canggung.
“Al? Makan-makannya mana nih?” tanya salah seorang teman sekelasku.
“Iya nih, Al. Makan-makan dong!” tambah yang lain.
“Nanti malem aja gimana?” aku menawari mereka.
“Oke. Di Topi Pizza ya?” usul salah satu dari mereka yang disusul anggukan setuju yang lainnya
“Ocreee. Habis Maghrib di sana ya? Oh iya Shil. Khusus buat kamu, kamu harus nyariin aku taksi atau becak atau telponin orang tuaku buat jemput aku. Nggak mungkin kan aku yang kaya begini naik bus?” ujarku.
“Iya iya Al. Taksi aja ya?” dia menahan tawa.
“Ya. Terserah” jawabku dengan nada ketus.
Tidak lama, taksi yang dipesan datang. Aku langsung masuk saja karena aku mulai tidak tahan dengan pandangan orang padaku yang seperti melihat badut Ancol. Aku masih memegang burung pemberian Shilla.
“Kalau cuma kertas seperti ini, aku juga bisa buatnya, tinggal belajar sedikit aja. Ya sudahlah, namanya dikasih itu ya disyukuri aja, daripada nggak dikasih?” ucapku pelan di dalam taksi sambil memasukkan origami tersebut ke dalam tas. Lalu menyebutkan alamat rumahku.
Setelah lima belas menit perjalanan, aku sampai di rumah. Aku pun langsung mandi. Aku tidak hanya mandi sekali, tapi sampai tiga kali! Aroma telurnya sangat menyengat, tapi akhirnya hilang juga. “Semua gara-gara Shilla. Kalau dia tidak mengguyurku dulu, aku pasti tidak akan repot seperti ini” aku menggerutu.


Sehabis sholat Maghrib, aku meminta izin orang tuaku dan berangkat menuju Topi Pizza. Saat di perjalanan, aku berharap semoga acara ini berjalan mengasyikkan dan tidak ada kecanggungan. Amin.
Akhirnya aku sampai di sana. Aku melihat ke dalam lewat kaca bening. Di dalam sudah ramai. Mereka tertawa-tawa. Aku menangkap bayangan seseorang yang sangat ingin kulihat. Gilang. Dia memakai kemeja berwarna biru. Dia berada di meja yang kupesan. Siapa yang mengajaknya?
Aku masih terus mengamati, sampai ada tangan cewek melingkar di pundak Gilang. Aku berjengit. Mereka bergaya untuk difoto. Cewek yang memeluk Gilang tadi berdiri, sepertinya akan ke kamar mandi. Dia seperti Shilla. Aku memicingkan mata dan bergerak mendekat. Tidak salah lagi. Dia Shilla!
Shilla sudah di kamar mandi ketika aku memasuki Topi Pizza.
“Eh, guys. Aku titip tas ya? Aku mau ke kamar mandi dulu.. Nih! Tangkep!” aku melempar tas kecil dan langsung berlari-lari kecil ke kamar mandi.
 Aku ke kamar mandi tidak untuk buang air kecil, melainkan akan melabrak Shilla langsung. Saat itu juga.
“Hei Shilla!” panggilku pelan ketika memasuki toilet perempuan. Suaraku sedikit bergetar.
Lalu, kudengar suara toilet disiram dan seseorang keluar dari salah satu bilik. Bukan Shilla. Sial!
“Shil? Shilla?” panggilku lagi. Kali ini suaraku sudah mulai normal.
Suara toilet disiram lagi. Shilla keluar dari bilik di tengah. “Ada apa Al?” tanyanya sambil membenahi pakaiannya.
Aku menengok ke kiri-kanan apakah ada orang lain di situ. Setelah memastikan hanya kita berdua, aku langsung menatapnya tajam dan mendorongnya ke dinding.
Dia sangat terkejut. “Kamu kenapa Al?” tanyanya panik.
“Apa maksudmu Shil!? Maumu apa!? Menghancurkanku!? Menjatuhkanku!?” bentakku.
“A.. Apa.. maksudmu Al? Aku nggak ngerti” dia tergagap.
“Nggak usah sok nggak ngerti Shil! Kamu jelas-jelas tahu aku suka dia dari awal kita masuk SMA Shil! Aku udah nyimpen perasaan itu baik-baik di sini! Di hatiku! Aku kunci rapet-rapet di sana! Dan cuma kamu yang aku kasih kunci duplikatnya! Itu karena kamu sahabatku Shil!” aku meneteskan air mata. Hatiku teriris. Sakit.
“A.. aku.. masih ng.. nggak ngerti Al” terlihat jelas di matanya ia ketakutan.
“Kamu bego atau pura-pura bego Shil!? Aku tuh ngebiarin kamu tahu semuanya karena aku butuh orang buat dicurhatin! Bukan butuh seorang…..”
“Cekreeek” suara pintu dibuka. Kalimatku terputus. Ada orang yang ingin masuk.
“Mbak, tolong izinin kami di sini berdua, sebentaaar aja. Bisa? Masalah keluarga” kataku bohong. Shilla tampak ingin protes tapi tidak berani karena aku memberi tatapan diam-atau-mati.
“Oh. Ya. Nggak papa kok” jawabnya singkat lalu meninggalkan kami berdua.
“Sampai mana tadi? Ah iya. Aku tidak butuh seorang pengkhianat macem kamu Shil! Aku nggak butuh orang yang egois, yang nyakitin sahabatnya cuma demi cinta buta!” aku melanjutkan bentakanku yang terputus tadi.
“Pengkhianat? Aku tidak mengkhianatimu  Al. Aku hanya berusaha membantumu. Aku hanya jadi mak comblangmu Al” dia beralasan.
“Omong kosong! Alibi! Aku tahu akhir-akhir ini kamu sering sama dia! Aku tahu kamu udah dua bulan terakhir ini SMS-an sama dia! Bahkan kalian udah peluk-pelukan! Semua kedokmu udah kebongkar Shil! Nggak usah nyari alesan lain lagi!” emosiku berada di puncaknya.
“Al.. dengerin aku dulu” dia menangis. Mencoba menjelaskan.
“Nggak! Aku nggak mau dengerin kamu! Semua yang kamu omongin pasti cuma biar aku nggak marah. Iya kan? Aku udah tahu semua Shil! Cukup! Aku udah muak sama kamu! Jangan pernah ganggu hidupku lagi! Aku nggak pengen liat kamu lagi! Titik!”
“Tapi Al..” dia mencoba lagi di sela tangisnya.
“Nggak ada tapi-tapian! Sekarang kamu pergi! Pergii!! Aku nggak pengen liat kamu lagi! Pergi!!” kesabaranku sudah habis.
Shilla berlari keluar. Aku terduduk lemas di lantai. Aku menangis sejadi-jadinya. Perasaanku campur aduk. Kenapa harus terjadi hari ini? Seharusnya hari ini jadi hari bahagiaku. Kenapa? Kenapa Shilla tega mengkhianatiku? Kenapa? Otakku penuh dengan pertanyaan “kenapa?”.
Setelah aku cukup tenang, aku mencuci muka dan berniat keluar. Aku yakin mataku terlihat sangat bengkak. Tapi apa boleh buat? Aku tidak mungkin berada di sana lebih lama lagi. Pasti teman-temanku akan curiga.
Ketika aku keluar, aku melihat dari kejauhan beberapa temanku tidak di bangkunya seperti sewaktu aku datang. Aku yakin mereka yang sudah tidak di bangkunya pasti mengejar Shilla. Ingin tahu ada apa sebenarnya.
Aku tidak peduli lagi dengannya! Terserah dia mau bilang apa sama mereka!
Sesampainya di meja, aku ditanya macam-macam. Tentang Shilla lah, wajahku kenapa lah, apa lah. Tapi tak satupun aku jawab.
“Maaf ya guys. Tadi perutku sakit banget. Kayaknya diare. Kalian udah terlanjur pesen ya? Aku kasih uangnya aja ya? Aku mau pulang. Nggak tahan nih..” aku beralasan.
Eh. Kamu pulang naik apa? Aku anter ya?” tawar Gilang.
“Nggak usah. Makasih. Aku bisa pulang sendiri” jawabku singkat dan terkesan agak ketus.
“Oh. Yaudah. Ati-ati” ucapnya. Aku hanya mengangguk dan melambaikan tangan ke arah mereka. Mereka mengucapkan hati-hati dan melambaikan tangan juga.
Lalu aku beranjak pulang.
Saat perjalanan, aku menonaktifkan handphone-ku. Aku sedang tidak ingin ditelepon ataupun di SMS. Sekalipun itu orang tuaku.
Lima belas menit kemudian, aku sampai di rumah. Orang tuaku menanyaiku menngapa aku pulang cepat. Aku beralasan sama seperti tadi. Jadi, aku langsung disuruh ke kamar dan istirahat. Aku sholat Isya dulu lalu naik ke tempat tidurku. Aku pun langsung tertidur begitu kepalaku menyentuh empuknya bantal. Mungkin karena saking lelahnya aku hari itu.
Aku bermimpi. Mimpiku sangat aneh. Shilla lari-lari ke arahku. Tapi tiba-tiba ia menguap begitu saja. Lalu tiba-tiba aku dikelilingi teman-temanku. Mereka sangat besar. Aku hanya sebesar ibu jari mereka. Mereka mengepungku seolah aku bersalah banyak. Kemudian aku terjatuh dalam suatu ruangan. Gelap. Ada cahaya. Awalnya kecil, tapi mendadak semuanya terang benderang. Dan aku mengenal tempat itu. Topi Pizza. Adegan Shilla merangkul Gilang. Kejadian di kamar mandi. Semua seperti film yang maju mundur. Aku terombang-ambing. Dan tiba-tiba aku terbangun. Nafasku memburu. Jantungku berdetak cepat.
            Tidak lama setelah aku memikirkan mimpiku itu, aku mendengar adzan Subuh. Aku langsung beranjak untuk mengambil air wudlu dan sholat. Aku memohon petunjuk pada Allah SWT. Semoga Allah SWT menyembuhkan luka ini.
            “Tok tok tok” pintu kamarku diketuk. Pukul 05.00. Siapa yang pagi-pagi begini ke sini? Lagian ini kan hari Minggu.
“Alika, ayo cepet mandi. Kita ada acara keluarga lho sayang” suara lembut Mama menjawab pertanyaanku.
“Iya, Ma!” aku pun langsung melepas mukena, melipatnya dan menyambar handuk lalu mandi.
Pukul 06.00 kami sekeluarga sudah berangkat ke luar kota. Aku tidak membawa handphone ku. Aku hari ini ingin tenang dan aku tidak ingin orang tuaku tahu tentang masalah itu. Masalah mereka sendiri saja sudah berat, tidak usah aku tambahi lagi masalah mereka dengan masalahku.
Aku menikmati hari itu. Aku hampir sama sekali lupa dengan kejadian di Topi Pizza. Malam itu kami sampai di rumah pada tengah malam. Dan itu berarti sudah sehari penuh aku menonaktifkan handphone ku. Aku langsung beranjak tidur. Aku berharap tidak yang lebih buruk dari hari kemarin.

Sepertinya Allah SWT memiliki rencana lain. Seperti pagi ini, terdengar isu-isu mengenai Shilla. Aku bertanya-tanya apa yang terjadi padanya. Ada yang bilang sakit keras ada juga yang bilang sudah meninggal. Ada juga yang bilang orang tuanya meninggal. Tidak mungkin! Aku nggak percaya semua itu. Itu pasti bualan. Semua itu pasti hoax!
Aku akui, aku memang masih kesal dengan Shilla, tapi aku tetap tidak terima jika ada orang menyebarkan gosip tidak benar mengenai dia dan keluarganya.
Karena aku tidak percaya dengan segala gosip-gosip murahan di sekolah itu, sepulang sekolah aku mendatangi rumah Shilla untuk membuktikan bahwa gosip itu tidak benar!
Sesampainya di gang menuju rumah Shilla, terpasang bendera merah. Aku terkejut. Siapa yang meninggal? Tetangganya atau keluarga Shilla? Berbagai pertanyaan berkelebat di benakku. Tapi aku terus berjalan ke rumah Shilla.
Sesampainya di sana, rumah Shilla ramai. Terbersitdi pikiranku, mungkinkah orang tua Shilla meninggal? Innalillahi wa innailaihi rojiun. Aku turut beduka. Lalu aku masuk ke dalam rumah itu dan duduk bersila. Aku terkejut mendapati ibu Shilla sedang menangis dan ayah Shilla memimpin orang-orang membaca Surah Yasiin.
“Kalau bukan orang tuanya, lalu siapa? Dan di mana Shilla sekarang?” aku jadi menerka-nerka, bingung, bimbang, takut. Sampai akhirnya aku membulatkan tekad untuk membuka kain di peti itu, dan mendapati seseorang bertubuh kecil, wajah pucat dan sangat familiar berbaring di sana.
            Aku tercengang. Aku tidak percaya dengan penglihatanku. Pikiranku kosong. Aku tidak bisa berpikir. Aku ingin memungkiri bahwa gadis di dalam peti ini bukan Shilla. Tidak tidak tidak!
            Aku langsung lari dari rumah Shilla. Pergi entah ke mana. Aku lari dan terus berlari. Sampai akhirnya aku berhenti di sebuah taman. Aku berlindung di bawah pohon. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku teringat kejadian malam itu. Kata-kata terakhir yang kulontarkan waktu itu didengarkan oleh Allah SWT dan dikabulkan-Nya. Dia telah pergi. Aku tidak akan pernah melihatnya lagi. Aku menangis.
            Tiba-tiba aku teringat Shilla yang tersenyum, Shilla yang menggodaku, Shilla yang penggemar Suju, Shilla yang suka ngomong bahasa Korea, dan Shilla yang berkata “Saengilchukha” sambil memberiku origami. Origami itu...
Kucari-cari origami itu di dalam tasku sambil sesenggukan. Aku menemukannya. Bentuknya sudah cukup lusuh karena tertumpuk barang-barangku. Tapi, masih berbentuk burung. Aku memainkannya sebentar, masih dengan air mata yang berlinang. Burung itu masih bisa bergerak. Aku mengamati burung itu, sangat rapi. Kubolak-balik dan kudapati ada lubang kecil di bawah. Terlihat sesuatu di sana. Tulisan. Iya. Itu tulisan! Mengapa aku bisa tidak sadar kalau ada tulisan di dalamnya?
Pelan-pelan kubuka origami itu, sampai hanya menjadi selembar kertas yang telah tertekuk-tekuk. Di dalamnya terdapat tulisan khas Shilla banget, seperti ini:


Beberapa wkt lalu, aku dpt sms dr tmnku kaya gini:
‘Brp lama kita akan berteman?
Apakah selama bintang bersinar di langit?
Atau mgkn sampai lautan kehabisan air?
Yg aku inginkan adalah sampai akhir nanti :)
Engkau adlh kawan BAIK ku :)
Aku berharap untuk menjadi orang yang terpenting dalam hidupmu :)
Aku hanya berharap suatu hari nanti, jika kau melihat sebuah batu nisan yang bertuliskan namaku, “Ashilla Amanda”, kau akan tersenyum dan berkata:
“Aku mengenalinya dan IA ADALAH KAWAN BAIKKU” ’
Aku benar-benar berharap seperti itu Al. Karena kamu penting bgt buat aku :’)

Ashilla Amanda J

Air mataku mengalir semakin deras. Aku telah menyakiti sahabat baikku. Sahabat yang selalu mendengar segala keluh kesahku. Sahabat yang selalu menganggapku ada. Aku sangat menyesal. Mengapa aku telah menjadi orang yang sangat jahat?
Aku memukuli kepalaku. Bagaimana bisa aku menjadi sebodoh ini? Bagaimana bisa? “Aaaaarrrgh!” aku menjambak rambutku.
“Al..” seseorang memanggilku. Pilu.
Aku tidak memedulikannya. Aku sedang tidak ingin diganggu.
“Alika.. Jangan nyakitin diri sendiri gitu!” ujar orang itu lagi dengan lembut.
Aku tetap tidak peduli. Aku tetap menangis dan menangis sambil sesekali memukuli kepalaku.
“Bodoh. Bodoh. Bodoh. Aku bodoh!” teriakku.
Tiba-tiba aku merasakan sebuah pelukan dari belakang. Aku kaget tapi aku tidak menolak. Pelukan itu terasa hangat. Nyaman. Aku membenamkan kepalaku di pelukannya, masih tetap menangis.
“Al.. udah. Cukup. Ini udah ditakdirin Allah. Semuanya udah terjadi” bisik orang itu tepat di telingaku.
Aku melepas pelukan dan melihat orang itu. Aku mengerjap beberapa kali. Aku hampir tidak percaya siapa orang itu.
“G..Gi..Gilang?” tanyaku tak percaya.
“Udah Al. Jangan nangis. Kalau kamu nangisin Shilla, dia nggak akan tenang. Semuanya udah terlanjur. Dia nggak bisa balik lagi” dia memegang pundakku dan menghapus air mataku.
“Ka..Kamu u..udah tahu kalau Shilla udah nggak ada?” aku bingung.
“Udah. Sebenernya kemarin pagi aku dapet kabar kalau sepulang dari Topi Pizza dia kecelakaan dan dalam keadaan kritis di rumah sakit, Al. Aku mau ngabarin kamu. Aku telpon handphone mu, tapi nggak aktif, telpon rumahmu, nggak ada yang angkat. Dan malemnya aku dapet kabar kalau Shilla meninggal. Aku berusaha ngehubungin kamu lagi tapi masih nggak bisa” jelas Gilang panjang lebar.
            “J…J..Jjja..aa..di.. habis dari Topi Pizza dia kecelakaan?” aku tergagap.
“Gilaang! Kenapa dia nggak kamu cegah waktu mau keluar dari Topi Pizza? Kenapa? Kenapa?” aku histeris.
            “Aku udah nyegah, dia terus lari. Temen-temenmu pada nyusul dan pada bilang kalau aku mending tetep di Topi Pizza aja. Soalnya aku waktu itu sebagai tamu spesial khusus buat kamu”
            “Apa? Khusus buat aku?” aku nggak percaya.
            “Iya. Semua udah direncanain Shilla dari awal Al. Dia ngasih tahu aku tanggal ultahmu dan dia ngasih tahu juga kalau tiap tahun biasanya kamu ngajak makan-makan. Dia juga yang nyuruh aku nembak kamu pas di Topi Pizza. Tapi,.. waktu itu ternyata nggak sesuai rencana. Jadi, bisa disimpulin, dia bener-bener jadi mak comblangmu” jawab Gilang.
            “Ha? Ya ampun. Berarti aku bodoh banget Lang. Bodoh. Bego! Aku bego‼ Aaarrgh!” aku menjambaki rambutku lagi.
Aku menatap Gilang penuh rasa bersalah. Aku akan mengatakan yang sebenarnya terjadi padanya.
“Apa kamu tahu, Lang? Waktu di Topi Pizza, dari luar aku liat Shilla ngrangkul kamu. Aku bego banget waktu itu ngrasa cemburu setengah mati. Padahal kamu bukan siapa-siapaku. Dan waktu aku masuk, aku langsung ke kamar mandi kan? Soalnya waktu itu aku langsung pengen ngelabrak Shilla. Dan waktu dia mau njelasin, aku nggak mau denger. Itu yang bikin dia lari keluar dari Topi Pizza Lang. Aku jahat. Aku bego. Aku nyesel udah ngelakuin semua itu. Dan aku juga belum sempat minta maaf ke dia” aku berhasil bercerita panjang lebar dengan sesenggukan dan aku mulai menangis lagi.
            “Kita berdua tahu Shilla orangnya baik. Dia pasti maafin kamu. Apalagi kamu udah bilang kalau kamu sekarang menyesal. Walaupun terlambat, tapi Shilla pasti maafin kamu kok. Sekarang, mending kamu hapus air matamu itu. Terus kita berdoa buat Shilla aja. Semoga arwah Shilla diterima di sisi-Nya” ajak Gilang lembut.
            “Kamu nggak benci aku? Aku udah jadi orang yang jahat banget Lang” ratapku.
            “Kalau benci sih nggak. Cuman kecewa sedikit. Asal kamu nggak ngulangin lagi, perasaanku buat kamu tetep sama kok. Lagian, kamu saat ini lagi butuh tempat bersandar. Kalau aku pergi, aku nggak bisa bayangin gimana jadinya kamu”
            “Makasih Lang udah nyuport aku” tangisku mereda.
            “Yaudah yuk, kita ke masjid. Udah waktunya sholat Ashar. Sekalian kita berdoa buat Shilla juga” ajaknya.
Aku mengangguk.      
Ya Allah, ampunilah segala dosa Shilla. Terimalah segala amal perbuatannya. Berilah ia tempat terbaik di sisi-Mu. Berikanlah segala ampunanmu terhadapnya sehingga ia berada di atas Nirwana. “Amin” aku mengamini doa ku.
Maafkan aku Shil. Aku sungguh menyesal. Maafkan aku. Maaf sekali. Semoga kau mendengarnya. Dan cukup kau tahu saja. Kau akan selalu menjadi sahabatku. Sahabat terbaikku. Saranghaeyo Shilla-ah” ucapku lirih.

TAMAT



[1] E.L.F = EverLasting Friends, penggemar Super Junior (boyband Korea)
[2] Saengil chukhahaeyo = Selamat ulang tahun
[3] Saranghaeyo = Aku sayang kamu
 
;