Drrt drrt, handphone bututku bergetar. Membuatku sadar dari
lamunan. Ternyata ada SMS dari sahabatku, Shilla.
“Al,
aku mau curhat T^T”
Sudah biasa dia seperti ini. Pasti gara-gara Faiz
lagi. “Hmmh” desahku sedikit menahan kesal. Bagaimana tidak kesal kalau semua
tentang Faiz dan segala ke”lebay”an-nya dilimpahkannya semua begitu saja
kepadaku? Memangnya aku ini apa? Her private trash?
Tempat sampah pribadinya?
Walaupun kami sudah bersahabat lebih dari dua tahun, aku merasa seperti ada sesuatu yang
mengganjal diantara kami. Aku sudah mulai muak dengan segala
ocehannya tentang Faiz lah, Dio lah,
apa lah. Seolah-olah ia dan
orang-orang yang aku sebutkan tadi memiliki hubungan spesial. Padahal
sebenarnya tidak. Dan ujung-ujungnya, PASTI, dia akan galau dan
melimpahkan semua keluhannya padaku.
Rasanya ingin sekali aku memakinya, memrotesnya,
menegurnya, tapi apa daya,
apabila dia marah, dia seperti orang yang kebakaran jenggot. Dan apabila dia
marah, dia jauh lebih menakutkan dari singa yang kelaparan.
Cukup sudah semua tentang Shilla. Semoga kali ini
yang dia ceritakan, bukan tentang orang-orang yang kusebutkan tadi. “Ada apa
Shilla-ku, sayangku, cintaku, bebiku? -3-“ dan aku pun memencet tombol “send”. Tidak lama kemudian ada pemberitahuan bahwa
SMS tersebut sudah terkirim.
“Aaaa...
Aku pgn beli 6jib Al! T^T
tapi kagak punya duit L
huhuhu :’(“
“6jib? Apaan? Ajib-ajib? 6jib itu apa sih shil?”
“6jib itu albumnya suju yg terbaru. Pgn beli. Tp gk
pny duit L”
Ini nih, salah satu hal yang juga tidak kusukai.
Yap. Dia seorang ELF[1],
penggemar berat Super Junior. Aku tidak menyalahkan kok kalau dia seorang ELF.
Tapi, semenjak diia menjadi
ELF, dia menjadi sering mengkhayal yang berlebihan, sering berbicara dan menulis dengan bahasa serta huruf asing (yang sepertinya itu Korea) yang seringnya tidak
kuketahui maksudnya dan aku hanya mengiyakannya.
Selain itu, dia juga sering curhat tentang album
Super Junior yang terbaru dan berniat membelinya. Yang aku syukuri adalah, dia tidak
sampai mencuri barang orang dan menjualnya hanya untuk memenuhi hasratnya
membeli album Super Junior. Alhamdulillah. Dan semoga jangan sampai!
“Oh -_- terus aku hrs gmn? Blg wow? Bantuin? Beliin?
Atau apa?”
“Beneran mau beliin? xD Asiiikk!!”
“Eh eh.. nggak lah -__- aku kan jg lg bokek ._. Sori
shil ._.v km download lagu sealbum aja. Kan isinya sama ._.”
“Yaahh L
Iyadeh. Iyaa. Makasih sayangku udah dengerin curhatanku :*”
“Sama-sama :* muaahh”
Aku munafik ya? Mungkin,
tapi maksudku bukan begitu. Aku sebenarnya
tidak ingin membenci Shilla. Mungkin karena terlalu lama sering dengannya, aku
jadi ingin memberontak dan pergi darinya. Aku
bosan. Tapi, aku tetap tidak bisa pergi
darinya. Yah, karena tidak ingin menyakitinya dan juga karena saking lamanya
kami menjadi teman dekat. Jadinya,
aku malah menjadi seperti ini.
“Maafkan aku Shilla”
ucapku lirih sambil memencet tombol “send”.
Pukul tiga pagi, aku terpaksa beranjak dari mimpi indahku
ke dunia nyata. Aku harus belajar untuk ulangan nanti. Hal ini sudah menjadi
kebiasaanku semenjak SMP. Tidur awal, bangun tengah malam untuk belajar. Suatu
rutinitas jika ada ulangan ataupun ujian. Aku tahu itu memang tidak baik. Tapi,
apa boleh buat? Pelajaran-pelajaran itu hanya dapat menembus otakku jika tidak
ada orang lain yang masih bangun di rumahku.
Layaknya
remaja normal, hal pertama yang kulakukan setelah membuka mata adalah….mengecek
handphoneku. Ada SMS. Ternyata dari Gilang. Cowok yang telah membutakan mataku
semenjak awal masuk SMA. Dia tidak begitu tampan. Tinggi juga
tidak. Pintar? Emm, mungkin
saja.
Dia merupakan cowok berkulit gelap, berwajah tirus dengan
rambut lurus acak-acakan. Matanya lebar, hidungnya agak mancung, bibirnya
tipis. Ukuran sepatunya 40, tingginya hanya 163 cm, berat badannya kurang lebih
48 kg. Dia pakai
kacamata kalau pelajaran, tetapi dilepas waktu keluar. Hei! Kenapa aku terus
mikirin dia? Teriakku dalam hati.
Kembali ke SMS nya Gilang. Isi SMS nya adalah “Hei
Alika.. bsk jadwal les nya apa?”. Wah, kenapa dia tanya aku? Bukannya teman
sekelasnya yang ikut les juga banyak? Aku mulai menerka-nerka. Aku mulai
melambung. Sepertinya aku butuh pegangan agar tidak melambung terlalu tinggi.
“Jadwal
les hari Kamis : 28, 44” dan pesan pun terkirim.
Aku
sengaja tidak tanya mengenai alasannya. Mungkin sebelumnya dia sudah
tanya teman-temannya, tapi mereka tidak tahu. Dan
akhirnya dia tanya aku deh. Tapi, alasan sebenarnya adalah aku takut jatuh. Aku sudah
terlanjur melambung.
Aku
memilih mengalihkan perhatian ke buku LKS ekonomiku. Aku mencoba
berkonsentrasi, membacanya berulang-ulang, mencoba membuat rangkuman, tapi
tidak ada satu pun materi yang masuk ke otakku.
Aku memikirkan hal lain. SMS Gilang? Bukan. Lalu apa?
Entahlah. Aku bingung. Aku hanya berharap semoga ulangan ekonomi nanti berjalan
lancar walaupun materi yang kupelajari tidak ada satu pun yang nyantol di
kepala.
Aku baru
saja akan beranjak ke kantin ketika mendengar ada suara Gilang di persimpangan.
“Oke. Makasih Shil” katanya.
“Hah?
Shil? Ashilla? Ashilla sahabatku itu? Nggak tahu lah. Mending aku langsung ke
kantin aja. Perut udah meronta minta diisi nih” batinku dan langsung bergegas
ke kantin.
Di
kantin ramai sekali. Aku melihat sekeliling mencari tempat duduk kosong.
Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Aku menoleh, ternyata Shilla.
“Hai
Al!” sapanya tanpa melupakan senyum andalannya.
“Hai
Shil!” balasku datar karena menahan rasa sakit.
“Eh,
Al. Itu ada meja kosong. Ke sana yuk!
Kamu mau makan kan?” ajaknya sambil
menunjuk meja di pojokan.
“K..Ke..
Sana?” aku ragu.
“Iya.
Kenapa? Oh, aku tahu. Pasti gara-gara di deketnya ada…” godanya.
“Sssst! Diem! Nanti pada tahu!” aku melihat sekitar
memastikan tidak ada yang memperhatikan percakapan kami.
“Hahaha. Tapi, semua meja penuh Al. Ayolah!” bujuknya.
“Yaudah yuk!”
Aku menyerah, tidak kuat menahan rasa melilit di perutku.
“Bu, soto dua mangkok, es jeruk satu, es teh satu. Yang
es jeruk es nya dikit aja ya Bu” Shilla memesan setelah kami menempatkan diri
di tempat duduk tadi.
“Eh, Shil. Tadi sebelum ke kantin, kamu ke mana sih?” aku
bertanya setengah berbisik. Takut didengar Gilang dan teman-temannya.
“Aku? Ngobrol sama temen. Kenapa?” dia menjawab singkat.
“Ngobrol? Sama siapa?” aku menjadi was-was.
“Sama GNA” jawabnya. GNA adalah inisial buat Gilang.
Aku bersyukur, karena tepat setelah Shilla menjawab, Gilang dkk pergi.
“Jadi tadi beneran kamu yang ngomong sama dia?” aku mulai
bicara biasa dan berusaha agar tidak terlihat emosi.
“Eh?? Kamu tadi denger apa aja Al?” jelas terlihat dia
menyembunyikan sesuatu.
“Cuman pas Gilang bilang makasih. Emang kalian ngomongin
apa sih?” tanyaku sok tertarik.
“Bukan apa-apa kok. Dia cuman nanya kita udah ulangan apa
aja” ujarnya untuk menenangkan.
Tapi aku tidak bisa tenang! Aku mulai mendidih.
Untung, tidak
lama, pesananan kami datang. Aku bisa mengalihkan
perhatian. Tapi aku mendadak menjadi
tidak nafsu makan. Aku hanya makan separuh. Perasaanku campur aduk. Antara
kecewa, sedih, dan marah.
Semenjak kejadian di kantin itu, aku mulai menjaga jarak
dengan Shilla. Shilla pun tidak berusaha untuk mendekatiku. Aku menjalani
hari-hariku sendirian. Pergi ke perpustakaan saat istirahat pertama sampai
masuk lagi, sholat berjamaah saat istirahat kedua, dan buru-buru pulang setelah
bel pulang berbunyi. Aku pun jarang SMS baik dengan Gilang maupun Shilla. Setiap
Shilla bertanya tentang pelajaran padaku, aku hanya menjawab seperlunya dan
sedatar mungkin. Aku berhasil
melakukan semua itu sampai hari ini.
Tanggal 29 September 2012. Hari ulang tahunku. Aku melakukan rutinitas itu. Semua
berjalan seperti biasanya sampai bel pulang berbunyi. Pada saat
perjalanan keluar dari sekolah, aku takut. Aku takut seperti tahun lalu. Sudah
bisa ditebak apa yang akan terjadi, dan aku tak perlu menjelaskannya.
Aku mulai berpikir bahwa jangan-jangan Shilla memang
sengaja membuatku jauh darinya agar bisa mengerjaiku lebih parah dari tahun
kemarin. Tapi aku tidak bodoh. Aku akan lewat pintu belakang. Dia tidak mungkin
ada di belakang.
Tapi perkiraanku salah besar, sebelum aku sempat
mengendap-endap ke belakang sekolah, tiba-tiba Shilla meloncat sambil
mengguyurkan tepung setengah kiloan ke sekujur tubuhku. Dan orang-orang yang
lain entah bagaimana ceritanya jadi ikut-ikutan mengguyurku dengan berbagai barang
yang ada. Ada es teh, telur yang dibeli dari penjual jajanan, es jeruk, dan
lain sebagainya. Jadinya, aku mendadak seperti beruang kutub yang entah dari
mana asalnya, bisa nyasar ke sekolah ini.
“Saengil chukhahaeyo[2] Alika-ah.
Happy birthday! Semoga tambah yang baik-baik. I love you so much. Saranghaeyo[3].
Muah muah muah” ucap Shilla dengan puas, kuulangi sekali lagi, SANGAT PUAS!
Bagus! Rencananya berhasil! Tapi, aku masih berpikir
apakah percakapannya dengan Gilang tempo hari juga termasuk rencananya atau
memang ada sesuatu di antara mereka?
“Ah iya. Nih,
Al. Aku Cuma bisa ngasih ini” dia berkata sambil menyodorkan origami yang sudah
sangat sering dia buat.
Sebuah burung yang apabila ditarik ekornya, sayapnya
bisa bergerak seolah-olah burung tersebut bisa terbang.
“Maaf ya, nggak begitu bagus. Dan maaf juga kalau
nggak beli” tambahnya.
“Ah, nggak kok. Bagus. Makasih banget ya Shil” aku
berterima kasih dengan senyum canggung.
“Al? Makan-makannya mana nih?” tanya salah seorang
teman sekelasku.
“Iya nih, Al. Makan-makan dong!” tambah yang lain.
“Nanti malem aja gimana?” aku menawari mereka.
“Oke. Di Topi Pizza ya?” usul salah satu dari mereka
yang disusul anggukan setuju yang lainnya
“Ocreee. Habis Maghrib di sana ya? Oh iya Shil.
Khusus buat kamu, kamu harus nyariin aku taksi atau becak atau telponin orang
tuaku buat jemput aku. Nggak mungkin kan aku yang kaya begini naik bus?”
ujarku.
“Iya iya Al. Taksi aja ya?” dia menahan tawa.
“Ya. Terserah” jawabku dengan nada ketus.
Tidak lama, taksi yang dipesan datang. Aku langsung
masuk saja karena aku mulai tidak tahan dengan pandangan orang padaku yang
seperti melihat badut Ancol. Aku masih memegang burung pemberian Shilla.
“Kalau cuma kertas seperti ini, aku juga bisa buatnya,
tinggal belajar sedikit aja. Ya sudahlah, namanya dikasih itu ya disyukuri aja,
daripada nggak dikasih?” ucapku pelan di dalam taksi sambil memasukkan origami
tersebut ke dalam tas. Lalu menyebutkan alamat rumahku.
Setelah lima belas menit perjalanan, aku sampai di rumah.
Aku pun langsung mandi. Aku tidak hanya mandi sekali, tapi sampai tiga kali!
Aroma telurnya sangat menyengat, tapi akhirnya hilang juga. “Semua gara-gara
Shilla. Kalau dia tidak mengguyurku dulu, aku pasti tidak akan repot seperti
ini” aku menggerutu.
Sehabis sholat Maghrib, aku meminta izin orang tuaku
dan berangkat menuju Topi Pizza. Saat di perjalanan, aku berharap semoga acara
ini berjalan mengasyikkan dan tidak ada kecanggungan. Amin.
Akhirnya aku sampai di sana. Aku melihat ke dalam
lewat kaca bening. Di dalam sudah ramai. Mereka tertawa-tawa. Aku menangkap
bayangan seseorang yang sangat ingin kulihat. Gilang. Dia memakai kemeja
berwarna biru. Dia berada di meja yang kupesan. Siapa yang mengajaknya?
Aku masih terus mengamati, sampai ada tangan cewek
melingkar di pundak Gilang. Aku berjengit. Mereka bergaya untuk difoto. Cewek
yang memeluk Gilang tadi berdiri, sepertinya akan ke kamar mandi. Dia seperti
Shilla. Aku memicingkan mata dan bergerak mendekat. Tidak salah lagi. Dia
Shilla!
Shilla sudah di kamar mandi ketika aku memasuki Topi
Pizza.
“Eh, guys. Aku titip tas ya? Aku mau ke kamar mandi dulu.. Nih! Tangkep!” aku
melempar tas kecil dan langsung berlari-lari kecil ke kamar mandi.
Aku ke kamar
mandi tidak untuk buang air kecil, melainkan akan melabrak Shilla langsung.
Saat itu juga.
“Hei Shilla!” panggilku pelan ketika memasuki toilet
perempuan. Suaraku sedikit bergetar.
Lalu, kudengar suara toilet disiram dan seseorang
keluar dari salah satu bilik. Bukan Shilla. Sial!
“Shil? Shilla?” panggilku lagi. Kali ini suaraku
sudah mulai normal.
Suara toilet disiram lagi. Shilla keluar dari bilik
di tengah. “Ada apa Al?” tanyanya sambil membenahi pakaiannya.
Aku menengok ke kiri-kanan apakah ada orang lain di
situ. Setelah memastikan hanya kita berdua, aku langsung menatapnya tajam dan
mendorongnya ke dinding.
Dia sangat terkejut. “Kamu kenapa Al?” tanyanya
panik.
“Apa maksudmu Shil!? Maumu apa!? Menghancurkanku!?
Menjatuhkanku!?” bentakku.
“A.. Apa.. maksudmu Al? Aku nggak ngerti” dia
tergagap.
“Nggak usah sok nggak ngerti Shil! Kamu jelas-jelas
tahu aku suka dia dari awal kita masuk SMA Shil! Aku udah nyimpen perasaan itu
baik-baik di sini! Di hatiku! Aku kunci rapet-rapet di sana! Dan cuma kamu yang
aku kasih kunci duplikatnya! Itu karena kamu sahabatku Shil!” aku meneteskan
air mata. Hatiku teriris. Sakit.
“A.. aku.. masih ng.. nggak ngerti Al” terlihat
jelas di matanya ia ketakutan.
“Kamu bego atau pura-pura bego Shil!? Aku tuh ngebiarin
kamu tahu semuanya karena aku butuh orang buat dicurhatin! Bukan butuh
seorang…..”
“Cekreeek” suara pintu dibuka. Kalimatku terputus. Ada orang yang
ingin masuk.
“Mbak, tolong
izinin kami di sini berdua, sebentaaar aja. Bisa?
Masalah keluarga” kataku bohong. Shilla tampak ingin protes tapi tidak berani
karena aku memberi tatapan diam-atau-mati.
“Oh. Ya. Nggak papa kok” jawabnya singkat lalu
meninggalkan kami berdua.
“Sampai mana tadi? Ah iya. Aku tidak butuh seorang
pengkhianat macem kamu Shil! Aku nggak butuh orang yang egois, yang nyakitin
sahabatnya cuma demi cinta buta!” aku melanjutkan bentakanku yang terputus
tadi.
“Pengkhianat? Aku tidak mengkhianatimu Al. Aku hanya berusaha membantumu. Aku hanya
jadi mak comblangmu Al” dia beralasan.
“Omong kosong! Alibi! Aku tahu akhir-akhir ini kamu
sering sama dia! Aku tahu kamu udah dua bulan terakhir ini SMS-an sama dia!
Bahkan kalian udah peluk-pelukan! Semua kedokmu udah kebongkar Shil! Nggak usah
nyari alesan lain lagi!” emosiku berada di puncaknya.
“Al.. dengerin aku dulu” dia menangis. Mencoba
menjelaskan.
“Nggak! Aku nggak mau dengerin kamu! Semua yang kamu
omongin pasti cuma biar aku nggak marah. Iya kan? Aku udah tahu semua Shil!
Cukup! Aku udah muak sama kamu! Jangan pernah ganggu hidupku lagi! Aku nggak
pengen liat kamu lagi! Titik!”
“Tapi Al..” dia mencoba lagi di sela tangisnya.
“Nggak ada tapi-tapian! Sekarang kamu pergi!
Pergii!! Aku nggak pengen liat kamu lagi! Pergi!!” kesabaranku sudah habis.
Shilla berlari keluar. Aku terduduk lemas di lantai.
Aku menangis sejadi-jadinya. Perasaanku campur aduk. Kenapa harus terjadi hari
ini? Seharusnya hari ini jadi hari bahagiaku. Kenapa? Kenapa Shilla tega
mengkhianatiku? Kenapa? Otakku penuh dengan pertanyaan “kenapa?”.
Setelah aku cukup tenang, aku mencuci muka dan berniat
keluar. Aku yakin mataku terlihat sangat bengkak. Tapi apa boleh buat? Aku
tidak mungkin berada di sana lebih lama lagi. Pasti teman-temanku akan curiga.
Ketika aku keluar, aku melihat dari kejauhan beberapa
temanku tidak di bangkunya seperti sewaktu aku datang. Aku yakin mereka yang
sudah tidak di bangkunya pasti mengejar Shilla. Ingin tahu ada apa sebenarnya.
Aku tidak peduli lagi dengannya! Terserah dia mau
bilang apa sama mereka!
Sesampainya di meja, aku ditanya macam-macam.
Tentang Shilla lah, wajahku kenapa lah, apa lah. Tapi tak satupun aku jawab.
“Maaf ya guys. Tadi perutku sakit banget. Kayaknya
diare. Kalian udah terlanjur pesen ya? Aku kasih uangnya aja ya? Aku mau
pulang. Nggak tahan nih..” aku beralasan.
“Eh.
Kamu pulang naik apa? Aku anter ya?” tawar Gilang.
“Nggak usah. Makasih. Aku bisa pulang sendiri”
jawabku singkat dan terkesan agak ketus.
“Oh. Yaudah. Ati-ati” ucapnya. Aku hanya mengangguk dan melambaikan tangan ke arah
mereka. Mereka mengucapkan hati-hati dan melambaikan tangan juga.
Lalu aku beranjak pulang.
Saat perjalanan, aku menonaktifkan handphone-ku. Aku
sedang tidak ingin ditelepon ataupun di SMS. Sekalipun itu orang tuaku.
Lima belas menit kemudian, aku sampai di rumah. Orang
tuaku menanyaiku menngapa aku pulang cepat. Aku beralasan sama seperti tadi.
Jadi, aku langsung disuruh ke kamar dan istirahat. Aku sholat Isya dulu lalu
naik ke tempat tidurku. Aku pun langsung tertidur begitu kepalaku menyentuh
empuknya bantal. Mungkin karena saking lelahnya aku hari itu.
Aku bermimpi. Mimpiku sangat aneh. Shilla lari-lari ke
arahku. Tapi tiba-tiba ia menguap begitu saja. Lalu tiba-tiba aku dikelilingi
teman-temanku. Mereka sangat besar. Aku hanya sebesar ibu jari mereka. Mereka
mengepungku seolah aku bersalah banyak. Kemudian aku terjatuh dalam suatu
ruangan. Gelap. Ada cahaya. Awalnya kecil, tapi mendadak semuanya terang
benderang. Dan aku mengenal tempat itu. Topi Pizza. Adegan Shilla merangkul
Gilang. Kejadian di kamar mandi. Semua seperti film yang maju mundur. Aku
terombang-ambing. Dan tiba-tiba aku terbangun. Nafasku memburu. Jantungku
berdetak cepat.
Tidak
lama setelah aku memikirkan mimpiku itu, aku mendengar adzan Subuh. Aku
langsung beranjak untuk mengambil air wudlu dan sholat. Aku memohon petunjuk
pada Allah SWT. Semoga Allah SWT menyembuhkan luka ini.
“Tok tok
tok” pintu kamarku diketuk. Pukul 05.00. Siapa yang pagi-pagi begini ke sini?
Lagian ini kan hari Minggu.
“Alika, ayo cepet mandi. Kita ada acara keluarga lho
sayang” suara lembut Mama menjawab pertanyaanku.
“Iya, Ma!” aku pun langsung melepas mukena, melipatnya
dan menyambar handuk lalu mandi.
Pukul 06.00 kami sekeluarga sudah berangkat ke luar kota.
Aku tidak membawa handphone ku. Aku hari ini ingin tenang dan aku tidak ingin
orang tuaku tahu tentang masalah itu. Masalah mereka sendiri saja sudah berat,
tidak usah aku tambahi lagi masalah mereka dengan masalahku.
Aku menikmati
hari itu. Aku hampir sama sekali lupa dengan kejadian di Topi Pizza. Malam itu
kami sampai di rumah pada tengah malam. Dan itu berarti sudah sehari penuh aku
menonaktifkan handphone ku. Aku langsung beranjak tidur. Aku berharap tidak yang
lebih buruk dari hari kemarin.
Sepertinya Allah SWT memiliki rencana lain. Seperti pagi
ini, terdengar isu-isu mengenai Shilla. Aku bertanya-tanya apa yang terjadi
padanya. Ada yang bilang sakit keras ada juga yang bilang sudah meninggal. Ada
juga yang bilang orang tuanya meninggal. Tidak mungkin! Aku nggak percaya semua
itu. Itu pasti bualan. Semua itu pasti hoax!
Aku akui, aku memang masih kesal dengan Shilla, tapi aku
tetap tidak terima jika ada orang menyebarkan gosip tidak benar mengenai dia
dan keluarganya.
Karena aku tidak percaya dengan segala gosip-gosip
murahan di sekolah itu, sepulang sekolah aku mendatangi rumah Shilla untuk
membuktikan bahwa gosip itu tidak benar!
Sesampainya di gang menuju rumah Shilla, terpasang bendera
merah. Aku terkejut. Siapa yang meninggal? Tetangganya atau keluarga Shilla?
Berbagai pertanyaan berkelebat di benakku. Tapi aku terus berjalan ke rumah
Shilla.
Sesampainya di sana, rumah Shilla ramai. Terbersitdi
pikiranku, mungkinkah orang tua Shilla meninggal? Innalillahi wa innailaihi
rojiun. Aku turut beduka. Lalu aku masuk ke dalam rumah itu dan duduk bersila.
Aku terkejut mendapati ibu Shilla sedang
menangis dan ayah Shilla memimpin orang-orang membaca Surah Yasiin.
“Kalau bukan orang tuanya, lalu siapa? Dan di mana
Shilla sekarang?” aku
jadi menerka-nerka, bingung,
bimbang, takut. Sampai akhirnya aku membulatkan
tekad untuk membuka kain di peti itu, dan mendapati
seseorang bertubuh kecil, wajah pucat dan sangat familiar berbaring di sana.
Aku
tercengang. Aku tidak percaya dengan penglihatanku. Pikiranku kosong. Aku tidak
bisa berpikir. Aku ingin memungkiri bahwa gadis di dalam peti ini bukan Shilla.
Tidak tidak tidak!
Aku
langsung lari dari rumah Shilla. Pergi entah ke mana. Aku lari dan terus
berlari. Sampai akhirnya aku berhenti di sebuah taman. Aku berlindung di bawah
pohon. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku teringat kejadian malam itu. Kata-kata
terakhir yang kulontarkan waktu itu didengarkan oleh Allah SWT dan dikabulkan-Nya.
Dia telah pergi. Aku tidak akan pernah melihatnya lagi. Aku menangis.
Tiba-tiba
aku teringat Shilla yang tersenyum, Shilla yang menggodaku, Shilla yang
penggemar Suju, Shilla yang suka ngomong bahasa Korea, dan Shilla yang berkata
“Saengilchukha” sambil memberiku
origami. Origami itu...
Kucari-cari origami
itu di dalam tasku sambil sesenggukan. Aku menemukannya. Bentuknya
sudah cukup lusuh karena tertumpuk
barang-barangku. Tapi, masih berbentuk burung. Aku memainkannya sebentar, masih dengan air mata yang berlinang. Burung itu masih
bisa bergerak. Aku mengamati burung itu,
sangat rapi. Kubolak-balik dan kudapati ada lubang kecil di
bawah. Terlihat sesuatu di sana. Tulisan. Iya. Itu tulisan! Mengapa aku bisa
tidak sadar kalau ada tulisan di dalamnya?
Pelan-pelan kubuka origami itu, sampai hanya menjadi
selembar kertas yang telah tertekuk-tekuk. Di dalamnya terdapat tulisan khas
Shilla banget,
seperti ini:
Beberapa wkt lalu, aku dpt sms dr tmnku kaya gini:
‘Brp lama kita akan berteman?
Apakah selama bintang bersinar di langit?
Atau mgkn sampai lautan kehabisan air?
Yg aku inginkan adalah sampai akhir nanti :)
Engkau adlh kawan BAIK ku :)
Aku berharap untuk menjadi orang yang terpenting dalam hidupmu :)
Aku hanya berharap suatu hari nanti, jika kau melihat sebuah batu nisan yang bertuliskan namaku, “Ashilla Amanda”, kau akan tersenyum dan berkata:
“Aku mengenalinya dan IA ADALAH KAWAN BAIKKU” ’
Aku benar-benar berharap seperti itu Al. Karena kamu penting bgt buat aku :’)
Ashilla Amanda J
Air mataku mengalir semakin deras. Aku telah menyakiti sahabat baikku. Sahabat yang selalu mendengar segala keluh kesahku. Sahabat yang selalu menganggapku ada. Aku sangat menyesal. Mengapa aku telah menjadi orang yang sangat jahat?
Aku memukuli kepalaku. Bagaimana bisa aku menjadi sebodoh
ini? Bagaimana bisa? “Aaaaarrrgh!” aku menjambak rambutku.
“Al..” seseorang memanggilku. Pilu.
Aku tidak memedulikannya. Aku sedang tidak ingin
diganggu.
“Alika.. Jangan nyakitin diri sendiri gitu!” ujar orang itu
lagi dengan lembut.
Aku tetap tidak peduli. Aku tetap menangis dan menangis
sambil sesekali memukuli kepalaku.
“Bodoh. Bodoh. Bodoh. Aku bodoh!” teriakku.
Tiba-tiba aku merasakan sebuah pelukan dari belakang. Aku
kaget tapi aku tidak menolak. Pelukan itu terasa hangat. Nyaman. Aku membenamkan
kepalaku di pelukannya, masih tetap menangis.
“Al.. udah. Cukup. Ini udah ditakdirin Allah. Semuanya
udah terjadi” bisik orang itu tepat di telingaku.
Aku melepas pelukan dan melihat orang itu. Aku mengerjap beberapa
kali. Aku hampir tidak percaya siapa orang itu.
“G..Gi..Gilang?” tanyaku tak percaya.
“Udah Al. Jangan nangis. Kalau kamu nangisin Shilla, dia
nggak akan tenang. Semuanya udah terlanjur. Dia nggak bisa balik lagi” dia
memegang pundakku dan menghapus air mataku.
“Ka..Kamu u..udah tahu kalau Shilla udah nggak ada?” aku
bingung.
“Udah. Sebenernya kemarin pagi aku dapet kabar kalau
sepulang dari Topi Pizza dia kecelakaan dan dalam keadaan kritis di rumah
sakit, Al. Aku mau ngabarin kamu. Aku telpon handphone mu, tapi nggak aktif,
telpon rumahmu, nggak ada yang angkat. Dan malemnya aku dapet kabar kalau
Shilla meninggal. Aku berusaha ngehubungin kamu lagi tapi masih nggak
bisa” jelas Gilang panjang lebar.
“J…J..Jjja..aa..di..
habis dari Topi Pizza dia kecelakaan?” aku tergagap.
“Gilaang! Kenapa dia nggak kamu cegah waktu mau keluar
dari Topi Pizza? Kenapa? Kenapa?” aku histeris.
“Aku
udah nyegah, dia terus lari. Temen-temenmu pada nyusul dan pada bilang kalau
aku mending tetep di Topi Pizza aja. Soalnya aku waktu itu sebagai tamu spesial
khusus buat kamu”
“Apa?
Khusus buat aku?” aku nggak percaya.
“Iya.
Semua udah direncanain Shilla dari awal Al. Dia ngasih tahu aku tanggal ultahmu
dan dia ngasih tahu juga kalau tiap tahun biasanya kamu ngajak makan-makan. Dia
juga yang nyuruh aku nembak kamu pas di Topi Pizza. Tapi,.. waktu itu ternyata
nggak sesuai rencana. Jadi, bisa disimpulin, dia bener-bener jadi mak
comblangmu” jawab Gilang.
“Ha? Ya
ampun. Berarti aku bodoh banget Lang. Bodoh. Bego! Aku bego‼ Aaarrgh!” aku
menjambaki rambutku lagi.
Aku menatap Gilang penuh rasa bersalah. Aku akan
mengatakan yang sebenarnya terjadi padanya.
“Apa kamu tahu, Lang? Waktu di Topi Pizza, dari luar aku
liat Shilla ngrangkul kamu. Aku bego banget waktu itu ngrasa cemburu setengah
mati. Padahal kamu bukan siapa-siapaku. Dan waktu aku masuk, aku langsung ke
kamar mandi kan? Soalnya waktu itu aku langsung pengen ngelabrak Shilla. Dan waktu
dia mau njelasin, aku nggak mau denger. Itu yang bikin dia lari keluar dari
Topi Pizza Lang. Aku jahat. Aku bego. Aku nyesel udah ngelakuin semua itu. Dan
aku juga belum sempat minta maaf ke dia” aku berhasil bercerita panjang lebar
dengan sesenggukan dan aku mulai menangis lagi.
“Kita
berdua tahu Shilla orangnya baik. Dia pasti maafin kamu. Apalagi kamu udah
bilang kalau kamu sekarang menyesal. Walaupun terlambat, tapi Shilla pasti maafin
kamu kok. Sekarang, mending kamu hapus air matamu itu. Terus kita berdoa buat
Shilla aja. Semoga arwah Shilla diterima di sisi-Nya” ajak Gilang lembut.
“Kamu
nggak benci aku? Aku udah jadi orang yang jahat banget Lang” ratapku.
“Kalau
benci sih nggak. Cuman kecewa sedikit. Asal kamu nggak ngulangin lagi,
perasaanku buat kamu tetep sama kok. Lagian, kamu saat ini lagi butuh tempat
bersandar. Kalau aku pergi, aku nggak bisa bayangin gimana jadinya kamu”
“Makasih
Lang udah nyuport aku” tangisku mereda.
“Yaudah
yuk, kita ke masjid. Udah waktunya sholat Ashar. Sekalian kita berdoa buat
Shilla juga” ajaknya.
Aku mengangguk.
Ya Allah, ampunilah segala dosa Shilla. Terimalah segala
amal perbuatannya. Berilah ia tempat terbaik di sisi-Mu. Berikanlah segala
ampunanmu terhadapnya sehingga ia berada di atas Nirwana. “Amin” aku mengamini
doa ku.
“Maafkan aku Shil. Aku
sungguh menyesal. Maafkan aku. Maaf sekali. Semoga kau mendengarnya. Dan cukup
kau tahu saja. Kau akan selalu menjadi sahabatku. Sahabat terbaikku. Saranghaeyo
Shilla-ah” ucapku lirih.
TAMAT